quickedit{display:none;}

Pages

Sabtu, 29 Oktober 2016

Sejarah singkat kehidupan Raja Airlangga

Asal-usul

Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Masa pelarian

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[2]
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang,Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.[3] Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Masa peperangan

Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerahSidoarjo sekarang).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin (dari?)[butuh rujukan]. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga danMpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Masa pembangunan

Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pembelahan kerajaan

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawiia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[butuh rujukan] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon ArangNagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.

Akhir hayat

Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Kahuripan, Daha atau Panjalu

Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Hubungan Burung Garuda Airlangga dengan Burung Garuda Pancasila.

HUBUNGAN BURUNG GARUDA AIRLANGGA DENGAN BURUNG GARUDA PANCASILA



Sejarah Indonesia sangatlah beragam terutama di pada masa pemerintahan Nusantara dalam bentuk Kerajaan setelah masuk agama Hindu-Buddha serta Islam ke Indonesia. Semua bagian asli dari Indonesia dari awal pembentukkan telah mengalami pengaruh dari hal-hal pembangunan negara seperti contoh dari awal yang berbentuk dari bentuk pemerintahan dari kepala suku dan kemudian dilanjutkan dengan bentuk kerajaan dan berkembang lagi menjadi negara republik demokrasi.
Dari awal masuknya agama yang berbentuk universal seperti agama Hindu-Buddha membuat Negara Indonesia menjadi negara yang bentuk pemerintahan mengikuti bentuk pemerintahan dari penyebar agama. Pengaruh dari kerajaan yang bercorak agama Hindu-Buddha serta Islam masih terlihat sampai sekarang. Kita pada kali ini akan membahas salah satu pemimpin kerajaan yang bercorak agama Hindu-Buddha yang berasal dari Kerajaan Medang Kamulan yaitu Raja Airlangga.
Sekedar mengingatkan tentang kepemimpinan di Kerajaan Medang Kamulan, Pada pimpinan pertama yaitu Mpu Sindok yang memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (awalnya adalah pemimpin Kerajaan Mataram). Pimpinan dilanjutkan oleh Dharmawangsa yang dikenal akan pandangan politik yang tajam. Setelah itu pimpinan dilanjutkan oleh Raja Airlangga, dalam prasasti Calcuta dijelaskan bahwa Airlangga masih termasuk keturunan Mpu Sindok dari pihak ibunya.

Latar Belakang
Semua pasti tahu burung garuda pancasila,kan? Burung garuda ini pada masa pemerintahan Raja Airlangga dari Kerajaan Medang Kamulan dipelihara oleh raja Airlangga. Dan kita mengetahui juga lambang dari Pancasila kita menggunakan simbol burung garuda. Sebenarnya hubungan apa yang dimiliki oleh kedua objek yang waktu terciptanya itu terlampaui sangat jauh. Oleh karena itu, kita akan membahas bagian ini lebih lanjut.

Pembahasan
Sejarah Burung Garuda Airlangga
Garuda merupakan burung gagah perkasa yang diyakini sebagai tunggangan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu adalah dewa yang sangat diagungkan di mitologi-mitologi di Negara India. Pada masa pemerintahan Raja Airlangga, ia dianggap sebagai titisan dari Dewa Wisnu sehingga dalam kepemimpinannya perintah dari Airlangga dianggap seperti perintah dari dewa (wisnu). Pemerintahan Airlangga dianggap sebagai titisan atau pemberian Dewa Wisnu. Kemudian digambarkan Airlangga sebagai titisan Wisnu yang sedang mengendarai Garuda. Garuda Wisnu Kencana, simbolisasi itulah yang dipergunakan pada masa ia memerintah. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia.

Sejarah Penggunaan Burung Garuda Indonesia
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949,dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintahan.
Dalam melakukan penseleksian, terpilih 2 rancangan yang akan digunakan menjadi lambang negara yaitu dari karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Karya Sultan Hamid II diterima sedangkan karya M Yamin ditolak karena menggunakan unsur sinar matahari yang berdekatan dengan unsur dari Jepang. Setelah itu, perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan dan terjadi perubahan cengkraman pada kaki garuda yang semula memakai pita merah-putih diganti menjadi pita puti yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis
Perubahan kedua setelah adanya masukan yang dilakukan Sultan Hamid II menjadi tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila yang disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Pada tanggal 20 Maret 1950, Sultan Hamid II memerintahkan pelukis istana untuk menggambarkan kembali lambang garuda pancasila tersebut dengan sebelumnya pertambahan “jambul”,karena jika tidak ditambahkan,terkesan seperti lambang Bald Eagle (Amerika Serikat). Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan yaitu dengan menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional,ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.


Hubungan antara Burung Garuda Raja Airlangga dengan Burung Garuda Pancasila
Negara  Indonesia memilih burung Garuda sebagai lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh percaya diri, energik dan dinamis.  Ia terbang menguasai angkasa dan memantau keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain.  Berdasarkan ceritera dari zaman terdahulu, Garuda yang merupakan lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung yang lebih kecil.  Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan berjiwa agung sejati,serta keharuman nama akan kebaikan dan kebijaksanaan dari garuda. Burung garuda juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai dengan budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun.  Burung garuda pun pantang mundur dan menyerah. Legenda semacam ini juga diabadikan sangat indah oleh nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai prasasti sejak abad ke-15. Dan merupakan harta sejarah Indonesia.  
Pemunculan kekuasaan antara raja-raja Kediri dan pemimpin Indonesia memiliki kesamaan. Diceriterakan bahwa raja Airlangga dan raja-raja Kediri lainnya naik tahta didahului oleh situasi kritis yakni melalui pralaya dan perang saudara Pangjalu-Jenggala. Menonjolkan struktur birokrasi pemerintahan yang berkedudukan di pusat. Salah satu yang paling mencolok pada masa kerajaan Kediri ialah adanya mobilisasi massa sebagai kekuatan militer serta pembentukan pasukan-pasukan tetap di pusat kerajaan dengan berbagai keahlian.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, kehadiran pemimpin dalam hal ini Presiden RI selalu didahului oleh pralaya dan situasi kritis. Ir Soekarno-Hatta, duet pasangan pemimpin RI pertama lahir dalam masa pertikaian RI-Belanda, serta berbagai pemberontakan dan konfrontasi antara lain, konfrontasi RI-Malaysia dan konfrontasi RI-Belanda mengenai Papua. Demikian pula kehadiran Presiden RI sesudahnya didahului peristiwa kritis yakni G 30 S /PKI. Pada akhir kekuasaan Soeharto, muncul Presiden BJ Habibie dalam situasi kritis ketika berlangsung berbagai demonstrasi massa serta krisisi moneter. Pemunculan Presiden Gus Dur juga didahului keadaan kritis. Presiden Megawati Soekarnoputeri tampil ketika terjadi krisis kepemimpinan nasional 


Kesimpulan
Pada masa pemerintahan dari Raja Airlangga,terkenal akan keberhasilan dalam kepemimpinan yaitu kerajaan mengalami kejayaan yang tertinggi. Simbol dari Raja Airlangga adalah Burung Garuda. Negara Indonesia menggunakan burung garuda Pancasila diharapkan memiliki keberhasilan yang sama dengan Raja Airlangga, bersifat energik dan dinamis perubahan positif dan juga penggunaan burung garuda diharapkan bisa membentuk negara yang besar,megah dan berani membela serta mampu melindungi negara sendiri




Mau lebih eksis dan social? kllik disini dan disini





 

My Life

Hello, My name called Robert Angkasa. They usually call me albert. i like to play game. Anything kindo of that, i like!!

Social Life

I live in Indonesia. I like the culture of Indonesia and also of the food, so i'm a foodie one I think. I like to make friends with others.

Mission Life

My mission is to make my life full of proudy and peaceful..
I live for life and do the best to get into my aim!!!
 
Blogger Templates